Angkaranews.id- Kondisi keuangan Kabupaten Aceh Timur tengah menjadi sorotan publik. Keterlambatan pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) serta gaji aparatur desa memicu tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Apakah Aceh Timur benar-benar mengalami krisis anggaran, atau ada hal lain yang perlu diungkap?
Anggaran DPRK Aceh Timur: Antara Krisis dan Prioritas?
Ketika berbicara tentang krisis keuangan, banyak pihak berasumsi bahwa setiap sektor pemerintahan terkena dampak secara merata. Namun, alokasi anggaran untuk Sekretariat DPRK Aceh Timur justru mengaburkan narasi tersebut.
Berdasarkan laporan anggaran, miliaran rupiah dialokasikan untuk berbagai kegiatan di lembaga legislatif. Salah satu yang mencolok adalah anggaran lebih dari setengah miliar rupiah hanya untuk atribut wakil rakyat. Sementara itu, ASN dan aparatur desa yang berperan penting dalam pelayanan publik justru menghadapi keterlambatan pembayaran hak mereka.
Siapa yang Menanggung Beban?
Jika Aceh Timur benar-benar mengalami krisis keuangan, mengapa ASN dan aparatur desa yang paling merasakan dampaknya? Apakah ada ketimpangan dalam pengalokasian anggaran yang membuat sektor tertentu tetap aman, sementara yang lain harus berjuang?
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah krisis ini nyata, atau hanya retorika untuk menutupi kebijakan yang tidak berpihak pada mereka yang bekerja di garis depan pemerintahan?
Wakil Rakyat dan Sikap dalam Krisis
Di tengah polemik ini, sikap wakil rakyat di DPRK Aceh Timur menuai kritik. Banyak yang menilai bahwa legislatif seolah tidak terdampak oleh krisis yang diklaim sedang terjadi. Jatah mereka tetap aman, tanpa pemotongan atau penundaan yang signifikan.
Masyarakat pun mengungkapkan kekecewaan dengan istilah “Tumpoek Hanjeut Peu Kureung dan Hanjeut Tunda-tunda”, yang menggambarkan bagaimana kepentingan legislatif tetap terjaga tanpa kompromi, sementara ASN dan aparatur desa harus menanggung konsekuensi defisit keuangan daerah.
Transparansi dan Akuntabilitas Diperlukan
Jika Aceh Timur benar-benar mengalami krisis anggaran, transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah harus menjadi prioritas. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana APBK dikelola dan sektor mana yang mendapat prioritas utama. Tanpa keterbukaan, kecurigaan terhadap ketimpangan kebijakan fiskal akan semakin menguat.
Pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, perlu memberikan penjelasan yang jelas dan akuntabel terkait kondisi keuangan ini. Jika ada krisis, solusi konkret dan adil bagi semua pihak harus segera diwujudkan, bukan hanya membebankan masalah kepada ASN dan aparatur desa.
Kesimpulan
Benarkah Aceh Timur mengalami krisis keuangan? Jika iya, mengapa alokasi anggaran masih terkesan tidak merata? Dan jika tidak, mengapa hak ASN dan aparatur desa justru menjadi korban utama?
Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban yang jelas dari para pemangku kebijakan. Tanpa transparansi dan keadilan dalam pengelolaan anggaran, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan terus terkikis. Masyarakat menanti langkah nyata untuk mengatasi polemik ini demi terwujudnya tata kelola keuangan yang lebih baik dan berkeadilan.
Hawalies Abwar (Pemerhati Kebijakan Publik)
Tidak ada komentar