Angkaranews.id- Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, secara resmi meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas kasus korupsi tata kelola minyak mentah yang terjadi dalam kurun waktu 2018-2023. Permintaan maaf tersebut disampaikan dalam konferensi pers pada Senin (3/3/2025).
Kasus korupsi ini telah menyebabkan kerugian negara yang sangat besar. Menurut Jaksa Agung, kerugian negara akibat skandal ini mencapai Rp193,7 triliun per tahun 2023 dan diprediksi akan mencapai Rp968,5 triliun dalam periode 2018-2024.
Skandal ini tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga mempengaruhi stabilitas industri energi, regulasi, dan kepercayaan publik terhadap Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua PWRI, Rohmat Selamat, SH, M.Kn, menyatakan bahwa korupsi di Pertamina sudah sangat kronis dan akut. “Skandal korupsi Pertamina ini tamparan bagi kita, betapa korupsi di Indonesia sudah sangat kronis, artinya sudah turun temurun dalam jangka waktu yang sangat panjang. Dan akut, semakin parah,” ujar Rohmat melalui keterangan di Jakarta, Senin (3/3/2025).
Rohmat menekankan bahwa korupsi seringkali terjadi karena lemahnya pengawasan dan kontrol dari pilar-pilar demokrasi, terutama pilar keempat, yaitu pers (media massa). “Fungsi pengawasan menempatkan media sebagai ‘pilar keempat’ demokrasi, berperan memantau aktivitas pejabat publik di semua lini pengelolaan kekayaan negara untuk mengungkap penyimpangan,” jelasnya.
Ia juga mengkritik peran pers dalam kasus korupsi di Pertamina, yang menurutnya tidak maksimal dalam mengawasi dan mengungkap kebenaran. “Jika pers tidak independen dan dipengaruhi oleh kepentingan politik atau ekonomi, maka korupsi dapat terus berlanjut tanpa diketahui oleh publik,” tegas Rohmat.
Rohmat menyerukan agar pers lebih masif dalam perannya sebagai kontrol sosial untuk mencegah perilaku koruptif di kalangan pejabat. “Kita ingin pers yang berdemokrasi, yaitu ada keseimbangan. Pers tidak perlu takut dengan ancaman hukuman karena mengacu pada asas praduga tak bersalah dan kesetaraan di depan hukum,” ujarnya.
Ia juga menyatakan bahwa tekad masyarakat Indonesia untuk memberantas korupsi semakin menguat, terutama setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Namun, Indonesia masih belum beranjak dari 10 negara terkorup di dunia, yang menandakan bahwa perilaku korupsi masih sulit dicegah.
“Dibutuhkan kerja bersama dari banyak pihak, termasuk pers, untuk mengentaskan Indonesia dari 10 negara terkorup itu,” pungkas Rohmat.
Dengan demikian, skandal korupsi di Pertamina tidak hanya menjadi sorotan publik, tetapi juga menjadi tantangan besar bagi semua pihak, termasuk media, untuk memperkuat peran pengawasan dan kontrol dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tidak ada komentar