Sorotan Ketimpangan Hukum: Vonis Ringan Anak DPR Aceh Dinilai Tidak Rasional

Admin
23 Okt 2025 12:52
Daerah 0 113
3 menit membaca

ANGKARANEWS.ID– Putusan pengadilan terhadap Fernando Safa, anak anggota DPR Aceh Salwani, dalam kasus narkoba terus mendapat sorotan. Ketua Gerakan Anti Narkoba Nasional (GANN) Aceh Tengah, Yusra Efendi, menilai vonis delapan bulan penjara sebagai putusan yang tidak rasional dan berpotensi melanggar prinsip keadilan hukum.

Berdasarkan barang bukti sabu seberat 1,1 gram yang ditemukan, Yusra menyatakan posisi hukum Fernando sudah dapat dikategorikan lebih dari sekadar pengguna. Menurutnya, fakta itu bahkan masuk dalam ranah pengedar atau bandar kecil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

“Dengan jumlah barang bukti di atas satu gram dan adanya pembagian paket sabu, itu sudah masuk unsur peredaran. Seharusnya jaksa menjeratnya dengan pasal bandar, bukan sekadar pengguna,” tegas Yusra, Kamis (23/10/2025).

Sebagai perbandingan, Yusra menyebutkan kasus Ansardi, seorang tukang pangkas yang hanya memiliki 0,3 gram sabu namun divonis dua tahun penjara. Perbandingan ini, menurutnya, menunjukkan ketimpangan hukum yang serius.

“Ini bentuk ketidakadilan yang nyata. Jangan mentang-mentang anak pejabat diberikan hukuman ringan. Kalau hal ini terjadi kepada masyarakat kecil, pasti ditindak tegas. Hukum sudah seharusnya menjadi panglima, tidak tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Hukum kita sudah kehilangan arah,” tambahnya.

Kekhawatiran akan ketidakadilan ini juga disuarakan oleh Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian. Alfian sebelumnya telah mendesak Komisi Yudisial (KY) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memeriksa hakim serta jaksa penuntut umum yang menangani perkara ini.

“Kami menduga kuat ada intervensi kekuasaan di balik putusan ini. KY dan Kejagung tidak boleh diam,” kata Alfian.

Yusra sepakat, dugaan praktik mafia hukum dalam kasus ini semakin kuat setelah munculnya perbandingan vonis antara dua terdakwa dengan kadar barang bukti yang berbeda.

Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009, seseorang yang kedapatan memiliki atau menguasai narkotika Golongan I (seperti sabu) lebih dari 1 gram dan terbukti membaginya ke dalam beberapa paket, dapat dijerat dengan pasal yang lebih berat, yaitu:

· Pasal 114 ayat (1): Ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun bagi pengedar.
· Pasal 112 ayat (2): Ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun jika jumlahnya melebihi 1 gram.

Dengan dasar hukum tersebut, Yusra menegaskan bahwa vonis delapan bulan penjara terhadap Fernando tidak sejalan dengan ketentuan yang berlaku. “Vonis itu sangat ringan dan mencederai rasa keadilan publik. Seharusnya majelis hakim dan jaksa menjatuhkan hukuman sesuai kategori peredaran, bukan sekadar pemakai,” ujarnya.

Keprihatinan serupa disampaikan sejumlah lembaga masyarakat sipil di Aceh. Mereka menilai, bila tidak ditindaklanjuti, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan narkoba di daerah yang dikenal sebagai jalur rawan peredaran sabu lintas provinsi.

“Kalau hukum bisa dibeli, maka perang melawan narkoba hanya jadi slogan. Yang harusnya diselamatkan itu pengguna yang menjadi korban, bukan pengedar,” tutup Yusra. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *