Aktivis Lingkungan Soroti Pembangunan GOM yang Diduga Langgar Garis Sempadan Setu Cibaju

Admin
28 Okt 2025 12:18
Daerah 0 73
3 menit membaca

ANGKARANEWS.ID– Pembangunan Gedung Olahraga Masyarakat (GOM) di kawasan Setu Cibaju, Kabupaten Bogor, menuai sorotan. Aktivis lingkungan menduga proyek ini melanggar ketentuan Garis Sempadan Sungai (GSS) dan Garis Sempadan Danau yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR).

Ketua Lembaga Aktivis Selamatkan Lingkungan Hidup, Shinta Aryana, menegaskan bahwa persoalan ini harus dilihat dari aspek teknis terlebih dahulu. Menurutnya, beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terlibat dan memiliki peran krusial dalam pemenuhan kajian teknis sebelum proyek dilaksanakan.

“Ada mekanisme yang harus ditempuh. Dinas PUPR mengeluarkan rekomendasi site plan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mengkaji aspek kepatuhan lingkungan, dan Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) bertanggung jawab terhadap kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),” jelas Shinta.

Ia menambahkan, koordinasi antar-dinas ini seharusnya mencegah kesalahan, termasuk yang terkait dengan batas GSS Setu. Pelanggaran terhadap Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menjadi titik persoalan.

“Aturan itu menetapkan batas perlindungan. Untuk sungai atau setu, ada jarak tertentu yang harus dijaga dari bibir pantai, bisa 50 meter atau lebih, tergantung kajian ilmiah dari pihak berwenang seperti Sumber Daya Air (SDA) atau Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS),” paparnya.

Shinta merinci bahwa kajian teknis untuk menetapkan GSS sangat kompleks. Beberapa faktor yang harus diperhitungkan meliputi lebar dan kedalaman setu, sumber mata air, daya tampung curah hujan, serta fungsi setu bagi irigasi dan masyarakat sekitar.

“Kajian inilah yang menjadi dasar kuat untuk menentukan jarak aman bangunan dari GSS, sesuai UU Lingkungan Hidup dan Permen PUPR. Dasar ini harus terpenuhi sebelum proyek direalisasikan,” tegasnya.

Shinta juga mengingatkan potensi pertanggungjawaban hukum yang dapat dibebankan kepada pemerintah jika terbukti lalai. Menurutnya, dalam hukum publik Indonesia, pemerintah dapat dianggap melakukan kejahatan dan pelanggaran hukum lingkungan jika mengabaikan kewajiban perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

“Bentuk pelanggarannya bisa beragam, mulai dari kegagalan penegakan hukum, penerbitan izin yang merusak lingkungan, membiarkan proyek berjalan tanpa Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), hingga praktik korupsi di balik perizinan sumber daya alam,” ujar Shinta.

Ia menegaskan bahwa untuk kasus dugaan pelanggaran GSS di Setu Cibaju ini, pemerintah harus bertanggung jawab jika terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan.

Shinta memaparkan beberapa jenis sanksi yang dapat dijatuhkan jika pelanggaran terbukti.

1. Sanksi Administratif: Berupa pembekuan atau pencabutan izin oleh menteri atau kepala daerah.
2. Tanggung Jawab Pidana: Pejabat publik yang terlibat dapat diproses secara pidana melalui PPNS KLHK, kepolisian, dan kejaksaan.
3. Tanggung Jawab Perdata: Pemerintah atau masyarakat dapat mengajukan gugatan ganti rugi untuk pemulihan lingkungan.

“Praktik yang mengabaikan koridor kajian lingkungan hidup tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga dapat memicu bencana dan merugikan masyarakat. Ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan,” tutup Shinta. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *