Babinsa Larang Wartawan Dokumentasi Bilik Suara, Transparansi Pemilihan Reje Dipertanyakan

Admin
21 Okt 2025 17:16
Daerah 0 197
3 menit membaca

ANGKARANEWS.ID– Larangan terhadap jurnalis yang hendak mengambil dokumentasi usai pemilihan Reje (Kepala Desa) Kampung Pedemun, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, memicu sorotan publik. Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius terkait transparansi proses demokrasi di tingkat desa.

Peristiwa itu dialami langsung oleh Dian Aksara, wartawan Tribun Indonesia sekaligus Ketua Pro Jurnalis Media Siber (PJS) Aceh Tengah, pada Senin (20/10/2025). Larangan diberikan tak lama setelah penghitungan suara selesai di Tempat Pemungutan Suara (TPS) setempat.

Dian mengaku dilarang mengambil foto bilik suara oleh seorang oknum Babinsa bernama Kopda Saring, yang saat itu bertugas mengamankan jalannya pemilihan. Padahal, menurutnya, pengambilan dokumentasi dilakukan setelah semua proses pemungutan dan penghitungan suara rampung. Tujuannya untuk mendukung pemberitaan yang berimbang dan akuntabel.

“Saya hanya ingin mengambil dokumentasi bilik suara yang sudah kosong sebagai bagian dari peliputan. Namun, tiba-tiba saya dilarang oleh Babinsa,” ungkap Dian, Selasa (21/10).

Oknum Babinsa tersebut beralasan bahwa bilik suara merupakan “ranah P2R” (Panitia Pemilihan Reje) dan dokumentasinya tidak boleh diambil tanpa izin resmi. Pernyataan itu disampaikan dengan nada tegas di hadapan beberapa warga yang masih berada di sekitar TPS.

“Mohon maaf, ini ranahnya P2R. Tidak bisa diambil foto,” kata Kopda Saring kepada Dian.

Larangan ini menimbulkan tanda tanya besar. Kecurigaan semakin menguat karena sebelumnya salah satu saksi dari calon Reje nomor urut 1 diketahui menolak menandatangani berita acara penghitungan suara dan meninggalkan TPS dengan wajah kecewa. Kondisi ini memperkuat dugaan adanya kejanggalan dalam proses pemilihan, di mana dokumentasi jurnalis justru menjadi penting untuk verifikasi publik.

Beberapa warga yang menyaksikan kejadian tersebut pun mempertanyakan alasan pelarangan. “Kalau tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus dilarang ambil gambar setelah pemilihan selesai? Kotak suara juga sudah tidak ada lagi di dalam bilik,” ujar salah satu warga Pedemun yang enggan disebutkan namanya.

Dian Aksara menilai tindakan pelarangan tersebut berpotensi melanggar kebebasan pers, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Larangan semacam ini mencederai kebebasan pers. Dokumentasi justru diperlukan untuk menjaga transparansi proses demokrasi, bukan malah dilarang,” tegasnya.

Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Babinsa Saring berdalih bahwa pelarangan dilakukan karena proses rekapitulasi belum sepenuhnya selesai dan belum ada izin dari P2R.

“Saya hanya melarang karena pekerjaan belum selesai dan belum ada izin dari P2R. Tidak ada niat untuk menghalangi tugas wartawan,” tulisnya dalam balasan pesan, Selasa (21/10).

Klarifikasi tersebut dianggap belum mencukupi. PJS Aceh Tengah menyayangkan sikap aparat yang dinilai tidak memahami peran dan fungsi jurnalis yang dilindungi undang-undang.

“Ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di daerah. Kami harap ke depan aparat di lapangan bisa menghormati kerja jurnalistik,” pungkas pernyataan resmi mereka.

Hingga berita ini diturunkan, pihak P2R maupun institusi militer terkait belum memberikan keterangan resmi. PJS Aceh Tengah menyatakan akan terus memantau perkembangan dan mempertimbangkan langkah hukum jika diperlukan untuk memastikan insiden serupa tidak terulang di masa depan.

(Redaksi)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *