
ANGKARANEWS.ID– Shinta A Mayangsari, seorang aktivis lingkungan dan budaya yang dikenal vokal, kembali melontarkan kritik tajam terhadap sejumlah kebijakan dan proyek Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor.
Dalam pernyataannya pada Minggu (19/10/2025), Shinta menuding adanya praktik “kejahatan heritage berbasis lingkungan” yang dilakukan oleh oknum pemerintah daerah.
Shinta secara khusus menyoroti dua isu utama: pembangunan jalan baru yang mengancam cagar budaya dan status lahan serta pengrusakan pada situs Sumur Tujuh. Ia mendesak Walikota Bogor untuk segera menghentikan pembangunan jalan yang dinilai mengabaikan kelestarian cagar budaya. Selain itu, ia juga menuntut penghentian segala bentuk pengrusakan yang terjadi di kawasan Sumur Tujuh.
Terkait Sumur Tujuh, Shinta mengkritik proses verifikasi yang dilakukan Komisi 3 DPRD Kota Bogor. Menurutnya, proses yang hanya melibatkan BPN dan BKAD dinilai tidak komprehensif.
Shinta menegaskan, seharusnya ada institusi lain yang lahir sebelum BPN yang dapat dimintai keterangan mengenai aset negara dan pertanahan untuk mendapatkan kejelasan status lahan.
Dalam pemaparannya, Shinta mendefinisikan kejahatan terhadap warisan budaya (heritage) sebagai tindakan yang sering melibatkan perusakan fisik, pencurian, atau penjarahan. Kejahatan ini tidak hanya dilakukan oleh individu atau kelompok, tetapi kadang juga melibatkan negara, dan berdampak buruk pada lingkungan sekitar situs cagar budaya.
Shinta merincikan beberapa bentuk kejahatan tersebut:
1. Perusakan dan Penghancuran: Baik secara langsung, seperti dalam konflik bersenjata, maupun tidak langsung, akibat polusi industri atau aktivitas pembangunan.
2. Pencurian dan Penjarahan: Pengambilan benda bersejarah secara ilegal dari situs, museum, atau tempat ibadah.
3. Perdagangan Gelap: Artefak curian yang diperdagangkan secara ilegal, yang sering dikaitkan dengan kejahatan terorganisir.
4. Aktivitas Tidak Berkelanjutan: Seperti penangkapan ikan merusak, eksploitasi sumber daya alam, dan pembangunan tidak terkendali yang merusak situs warisan.
Shinta memperingatkan bahwa kejahatan heritage memiliki dampak luas, di antaranya:
· Hilangnya sejarah dan identitas budaya masyarakat.
· Terjadinya kerusakan pada ekosistem lingkungan.
· Ancaman bagi ekonomi lokal, khususnya sektor pariwisata.
· Melemahnya kohesi sosial dan nilai-nilai spiritual.
Sebagai dasar hukum, Shinta juga menyitir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini mengatur sanksi pidana bagi pelaku kejahatan lingkungan, baik yang dilakukan secara sengaja maupun karena kelalaian. Sanksi dapat dikenakan tidak hanya kepada individu, tetapi juga kepada badan usaha dan pimpinannya.
Dengan pernyataan ini, Shinta A Mayangsari kembali menegaskan posisinya sebagai pengawas kritis yang mendorong agar pembangunan di Kota Bogor tidak mengabaikan aspek pelestarian lingkungan dan warisan budaya. Desakannya kini menunggu respons konkret dari Pemkot Bogor. (Red)
Tidak ada komentar